Sunday, July 30, 2017

Tentang Memaafkan dan Melupakan

Pada suatu acara (sebut saja 'arisan') yang bertabur bocah, dua anak laki-laki terlibat perebutan mainan. Keduanya masib balita, mungkin sekitar 2 tahunan atau kurang. Belum bisa jelas bicara dan banyak berkata-kata.

Dua anak laki-laki ini, kita sebut saja dedek A dan dedek B. Mereka memperebutkan sebuah mobil mainan yang entah milik siapa. Mungkin punyanya dedek B, karena arisannya di rumahnya. 

Rebutan yang awalnya 'hanya' tarik-tarikan mobil mainan, meningkat menjadi dedek A memukul dedek B. Keduanya sama-sama kaget dan hampir menangis. Dedek B langsung melepaskan tangannya dari mobil yang diperebutkan dan terdiam. Dalam hitungan detik mungkin dia udah cirambay dan membuat suasana arisan makin 'ramai'.

Untuk mencegah hal itu terjadi, ibu masing-masing dedek langsung bertindak. Ibu dedek A menyuruh sang anak meminta maaf dan meminjamkan mobilnya ke dedek B. Ibu dedek B membesarkan hati anaknya dan menyuruh sang anak bermain mainan lain. 

Alih-alih memperhatikan cara mengasuh anak, adegan selanjutnya berlangsung unyu. Dedek A mengulurkan tangan, tanda meminta maaf kepada dedek B. Dedek B yang masih gengsi (atau sakit kena pukul? :'( ) diam, tidak mau melihat apalagi menerima uluran tangan itu. Ibu dedek B membujuk agar anaknya menerima permintaan maaf itu. Begitu juga ibu dedek A, mengarahkan sang anak untuk memberikan mobil-mobilannya sebagai tanda keseriusan meminta maaf.

Akhirnya dedek B luluh. Uluran tangan diterima, begitu juga dengan mobil-mobilannya. Bonusnya, dedek A mencium kening dedek B yang tadi sempat kena pukul. Walaupun nggak langsung main bersama, keduanya kembali asik dengan mainan masing-masing. Lupa dengan pertengkaran tadi. Para ibu mengapresiasi kejadian tadi dan memuji kedua dedek yang bisa sama-sama 'legowo'.

Kalau hidup sesimpel pemandangan tadi, mungkin semua terasa lebih mudah. Berantem sebentar, cepet baikannya. Yang satu cepat meminta maaf, yang satu lagi cepat memaafkan. Lupa sudah dengan penyebab atau bahkan rasa sakitnya setelah dikeplak. Main bareng lagi, ketawa bareng lagi. Indahnya menjadi anak kecil yang sudah memberikan pelajaran sederhana itu.

Nggak lama setelah 'perdamaian' dedek A dan dedek B, ada kejadian baru. Kali ini, dedek A rebutan dengan dedek C, anak perempuan seumurannya yang juga tertarik dengan mainan truk. Tanpa pikir panjang, dedek A kembali melayangkan keplakan singkat yang langsung membuat dedek C menangis. 

Ibu dedek A kembali memerintahkan hal yang sama kepada anaknya. Sementara, ibu dedek C menenangkan anaknya sambil membujuk sang anak untuk bermain boneka aja. Tak lama, dedek A akhirnya mendekati dedek C untuk meminta maaf. Mengulurkan tangan dan memberikan truk mainan. Plus, mencium kening dedek C untuk meredakan tangisnya.

Bukannya berhenti, tangis dedek C malah semakin keras. Entah karena masih sakit dikeplak, atau 'sakit' karena nggak berhasil mendapatkan yang diinginkan :__)). Butuh waktu agak lama sampai akhirnya dia berhenti menangis dan hanya memegang truk tanpa memainkannya.

Simpulan awal tentang anak-kecil-cepat-meminta maaf-dan-memaafkan pun berubah. Melihat situasi kedua tadi, mungkinkah anak perempuan pada dasarnya memang sulit memaafkan apalagi melupakan? Kalau kata teman saya malah, "Perempuan nggak suka main-main apalagi dimainin." :___)))

Semoga semakin besar akan semakin sadar, tidak ada salahnya meminta maaf duluan dan lebih berbesar hati memaafkan duluan. Kalaupun kebiasaan itu belum bisa mewujudkan perdamaian dunia, minimal bisa mewujudkan kedamaian bagi diri sendiri di tengah kehidupan yang semakin random.

Source: Pinterest

0 Comments:

Post a Comment